Selasa, 11 September 2018




Baru-baru ini telah diberlakukan Peraturan Jaksa Agung R.I. No. PER-002/A/JA/05/2017 tentang Pelelangan dan Penjualan Langsung Benda Sitaan atau Barang Rampasan Negara atau Benda Sita Eksekusi yang berisi tentang pengaturan lelang terhadap aset yang menjadi kewenangan Kejaksaan namun mempunyai kondisi khusus tertentu (tidak seperti biasa). Inti dari peraturan dimaksud adalah bahwa terhadap aset berupa benda sitaan, barang rampasan, benda sita eksekusi yang mempunyai “kondisi khusus” tertentu (dokumen pendukung tidak ada, terdapat perbedaan data objek, amar putusan tidak jelas, berkas putusan hilang, dsb) tetap dapat diajukan lelangnya ke KPKNL. Sebagaimana diketahui, bahwa Kejaksaan merupakan lembaga eksekutor dalam pelaksanaan putusan pengadilan antara lain melalui kekuasaannya melakukan eksekusi penjualan lelang terhadap objek benda yang terkait dengan proses pidana. Kewenangan ini diatur di dalam pasal 1 angka 6 huruf b jo Pasal 13 KUHAP yang menyatakan bahwa “Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim”.
Terkait hal tersebut, sebagian masyarakat berpendapat bahwa peraturan Jaksa Agung No. PER-002/A/JA/05/2017 tersebut ditujukan untuk memindahkan beban tanggung jawab dari Kejaksaan kepada kantor lelang (KPKNL) dengan alasan kondisi objek yang dimohonkan lelang pada dasarnya tidak memiliki alas hukum yang kuat (karena memiliki berbagai kekurangan/cacat hukum), namun dikarenakan permohonan lelangnya telah disetujui sekaligus dilaksanakan oleh KPKNL yang notabene merupakan lembaga pelelangan milik negara yang berwenang melaksanakan lelang eksekusi, maka tindakan penjualan lelang tersebut menjadi sah dan kuat secara hukum (membuat hal dari illegal menjadi legal).
Menyambung pendapat sebagian masyarakat tersebut di atas, maka kita dapat menelusuri apa yang menjadi latar belakang diterbitkannya Peraturan Jaksa Agung No. PER-002/A/JA/05/2017. Sebagaimana yang tercantum di dalam part menimbang dan mengingatnya, maka dapat diketahui bahwa Latar belakang diterbitkannya peraturan Jaksa Agung tersebut adalah adanya beberapa pertimbangan antara lain hasil monitoring dan evaluasi Kejaksaan Agung R.I. yang menyimpulkan bahwa benda sitaan, barang rampasan negara serta benda sita eksekusi untuk pembayaran denda atau uang pengganti yang ternyata belum dapat dilaksanakan sesuai dengan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, sehingga benda sitaan, bahkan barang rampasan negara serta benda sita eksekusi tersebut masih saja tersimpan bahkan menumpuk di Rumah Penyimpanan Benda Sitaan, Gudang Barang Bukti Kejaksaan, atau tempat lainnya, tanpa ada kepastian penyelesaiannya.
Kondisi tersebut disebabkan karena banyaknya hambatan yang dihadapi oleh Kejaksaan dalam penyelesaiannya yang antara lain disebabkan oleh karena pemilik atau yang berhak tidak ditemukan tempat tinggal atau keberadaannya atau tidak mau menerima kembali benda sitaan, dokumen pendukung benda sitaan atau barang rampasan negara tidak ditemukan atau tidak lengkap, amar putusan kurang lengkap atau tidak jelas, serta benda sitaan atau barang bukti yang diputus untuk dikembalikan kepada kementerian/lembaga tanpa pernyataan dirampas. Alasan-alasan tersebutlah yang mengakibatkan sulit untuk diajukan permohonan penjualan lelangnya kepada KPKNL cq. DJKN.
Sementara itu, untuk mendukung tugas dan fungsi Kejaksaan sebagai pelaksana putusan perkara pidana dan pelaksana kegiatan pemulihan aset (pelaksana penjualan melalui lelang), maka perlu dilakukan percepatan penyelesaian benda sitaan, barang rampasan negara, dan benda sita eksekusi. Untuk itu maka kemudian diterbitkan Peraturan Jaksa Agung No. PER-002/A/JA/05/2017 yang isinya secara umum mengatur tentang tata cara permohonan penjualan lelang atas aset dengan kondisi khusus dimaksud (lelang tetap dapat diajukan permohonannya kepada KPKNL).
Namun Peraturan Jaksa Agung No. PER-002/A/JA/05/2017 tersebut ternyata belum terakomodir oleh peraturan lelang yang existing yaitu PMK No. 27/PMK.06/2016 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang. Untuk itu Menteri Keuangan baru-baru ini menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 13/PMK.06/2018 tanggal 08 Februari 2018 tentang Lelang Benda Sitaan, Barang Rampasan Negara, atau Benda Sita Eksekusi yang Berasal dari Kejaksaan Republik Indonesia diundangkan dan mulai berlaku pada tanggal yang sama yaitu 08 Februari 2018.
PMK No. 13/PMK.06/2018 tersebut bersifat lex specialis derogate legi generalis terhadap PMK yang lama yaitu PMK No. 27/PMK.06/2016, yang mengandung arti bahwa aturan yang terdapat di dalam PMK No. 13/PMK.06/2018 akan mengesampingkan aturan yang terdapat dalam PMK No. 27/PMK.06/2016 jika di dalam kedua PMK tersebut terdapat perbedaan pengaturan. Contohnya, di dalam pasal 1 angka 24 PMK No. 27/PMK.06/2016 mengatur tentang adanya syarat mutlak lelang yaitu lelang hanya dapat dilaksanakan jika telah memenuhi legalitas formal subjek dan objek lelang serta tidak ada perbedaan data. Namun pengaturan tersebut dikesampingkan oleh pasal 6 PMK No. 13/PMK.06/2018 yang mengatur bahwa syarat mutlak lelang cukup terpenuhinya legalitas formal subjek dan objek lelang sedangkan perihal ada tidaknya perbedaan data bukan lagi menjadi persyaratan mutlak untuk dapat dilaksanakannya lelang.
Sifat Lex Specialis dimaksud dapat diuraikan lebih rinci sebagaimana tercantum di dalam PMK No. 13/PMK.06/2018 beserta lampirannya yang menyatakan bahwa lelang dari Kejaksanaan tetap dapat dilaksanakan walaupun mempunyai kondisi khusus tertentu yang selama ini oleh orang awam dianggap tidak mungkin untuk dilaksanakan lelangnya karena dalam keadaan strange (odd) conditions, yaitu:
1. Lelang eksekusi benda sitaan tetap dapat dilaksanakan walaupun tidak diketahui putusan dan berkas perkaranya;
2. Lelang eksekusi barang rampasan negara tetap dapat dilaksanakan walaupun dokumennya tidak lengkap;
3. Lelang eksekusi barang rampasan negara tetap dapat dilaksanakan walaupun terdapat perbedaan data baik data yang tercantum di dalam putusan pengadilan, data yang tercantum di dalam surat perintah penyitaan, maupun data yang tercantum di dalam  berita     acara penyitaan dan/atau identitas fisik;
4. Lelang eksekusi barang rampasan negara yang berasal dari benda sitaan atau barang bukti yang putusannya dikembalikan kepada kementerian/lembaga tetap dapat dilaksanakan walaupun tidak ada amar yang menyatakan “dirampas”. Sebagian masyarakat lain     menyatakan bahwa beberapa jenis lelang tersebut merupakan jenis lelang yang unsecure karena memiliki risiko tinggi (high risk) untuk digugat baik perdata maupun pidananya bahkan berpotensi untuk digugat dalam ranah hukum tata usaha negara.
Menyambung uraian di atas, sejak berlakunya PMK No. 13/PMK.06/2018 beserta lampirannya, maka jenis lelang eksekusi yang sebelumnya telah ada mengalami penambahan sebanyak sembilan jenis lelang eksekusi baru yaitu: 1.Lelang eksekusi benda sitaan yang pemilik atau yang berhak tidak ditemukan; 2.Lelang eksekusi benda sitaan yang pemilik atau yang berhak menolak menerima; 3.Lelang eksekusi benda sitaan yang tidak diketahui putusan dan berkas perkaranya; 4.Lelang eksekusi benda sitaan atau barang bukti yang putusannya dikembalikan kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) tanpa pernyataan dirampas; 5.Lelang eksekusi barang rampasan negara yang berasal dari benda sitaan atau barang bukti yang putusannya dikembalikan kepada kementerian/lembaga tanpa pernyataan dirampas; 6.Lelang eksekusi barang rampasan negara yang dokumennya tidak lengkap; 7.Lelang eksekusi barang rampasan negara berupa sertifikat atau surat tanah; 8.Lelang eksekusi barang rampasan negara yang berbeda data dalam putusan, surat perintah penyitaan, berita acara penyitaan dan/atau identitas fisik; 9.Lelang eksekusi barang rampasan negara yang berasal dari benda sita eksekusi untuk membayar denda atau uang pengganti. Kesembilan jenis lelang eksekusi tersebut semuanya merupakan lelang eksekusi yang pemohonnya/penjualnya adalah lembaga Kejaksaan.
Sedikit mengupas isi PMK No. 13/PMK.06/2018, maka terkait pengaturan bahwa lelang eksekusi terhadap benda sitaan tetap dapat dilaksanakan oleh Pejabat Lelang Kelas I (Pelelang) walaupun permohonan lelangnya termasuk dalam kondisi strange conditions yaitu tidak terpenuhinya dokumen fundamentalpersyaratan yaitu tidak diketahuinya (tidak adanya) putusan dan berkas perkaranya (padahal putusan dan berkas perkara merupakan dasar untuk dilaksanakannya lelang), dapat kiranya menjadi bahan pemikiran ulang. Tidak berlebihan jika kita menengok kembali makna yang termuat di dalam pasal 270 KUHAP yang berbunyi “Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dilakukan oleh jaksa, yang untuk itu panitera mengirimkan salinan surat putusan kepadanya”. Bunyi pasal 270 KUHAP tersebut menyiratkan bahwa Jaksa dalam melakukan eksekusi lelang harus berdasarkan pada bunyi amar putusan yang tercantum di dalam berkas putusan dan berkas perkaranya sehingga eksekusi lelangnya mempunyai makna kuat tentang terpenuhinya asas kepastian hukum karena adanya berkas putusannya yang sudah berkekuatan hukum. Bagaimana jika berkas putusan dan berkas perkaranya tidak ada atau tidak diketahui?, Bagaimana jika lelang tetap dilaksanakan namun kemudian ditemukan berkas putusannya dan ternyata amar putusan berbeda/tidak sesuai?. Hal ini perlu menjadi bahan pemikiran ulang bagi pelaku lelang dan pencipta tatanan lelang di Indonesia, mengingat selama ini praktik lelang telah mencapai kondisi ideal (good paradigm) yaitu telah memenuhi asas-asas lelang yang baik yang antara lain mewajibkan agar setiap pelaksanaan lelang memenuhi asas kepastian hukum (legalitas), aman (secure), dan dilakukan dengan penuh kehati-hatian (prudent).
Hal lain untuk dijadikan bahan pemikiran adalah terkait pengaturan bahwa Pejabat Lelang tetap dapat melaksanakan lelang eksekusi yang diajukan Kejaksaan atas barang rampasan negara yang berasal dari benda sitaan atau barang bukti walaupun putusannya tanpa pernyataan “dirampas”. Terkait penting tidaknya bunyi amar “dirampas” dalam suatu putusan sebagai dasar pelaksanaan lelang, kiranya dapat diambil rujukan pasal 19 huruf a UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan “Putusan pengadilan mengenai perampasan barang-barang bukan kepunyaan terdakwa tidak dijatuhkan, apabila hak-hak pihak ketiga yang beritikad baik akan dirugikan. Selain itu dapat dilihat pula pasal 46 KUHAP jo Pasal 194 ayat (1) KUHAP yang mengatur bahwa terhadap barang yang telah disita untuk keperluan barang bukti maka baik penyidik, penuntut umum dan pengadilan (hakim) memiliki kewenangan sekaligus kewajiban untuk mengembalikan barang bukti kepada yang paling berhak, namun jika tidak memenuhi syarat untuk dikembalikan kepada yang berhak maka harus dirampas untuk kepentingan negara, dan apabila tidak menenuhi syarat dirampas untuk kepentingan negara (mempunyai nilai ekonomis, misalnya) maka dirampas untuk dimusnahkan atau tetap disita untuk barang bukti perkara lain.
Dari aturan-aturan dimaksud, maka dapat disimpulkan bahwa terkait eksekusi lelang barang yang dirampas demi pelaksanaan putusan pengadilan diperlukan dasar hukum yang kuat yaitu adanya amar putusan yang jelas-jelas menyatakan bahwa suatu benda tertentu dinyatakan dirampas, sehingga tindakan merampas dan menjual lelang mempunyai alas hukum yang kuat. Pentingnya pencantuman amar “dirampas” dalam suatu putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap juga dimaksudkan untuk menunjukan bahwa suatu putusan merampas hak kebendaan telah memenuhi asas publisitas. Dengan demikian publik dapat mengetahui bahwa status suatu benda telah benar-benar “dirampas” melalui suatu putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, untuk selanjutnya pihak yang berkepentingan dapat (diberikan kesempatan) melakukan upaya keberatan (fair).
Sedangkan terkait dengan pengaturan bahwa lelang eksekusi barang rampasan negara yang tetap dapat dilaksanakan walaupun terdapat perbedaan data baik data yang tercantum di dalam putusan pengadilan, data yang tercantum di dalam surat perintah penyitaan, maupun data yang tercantum di dalam berita acara penyitaan dan/atau identitas fisik, maka hal tersebutpun dapat menjadi bahan pemikiran ulang. Hal ini karena sudah banyak kasus serupa terjadi yang mengakibatkan suatu putusan pengadilan sulit bahkan tidak dapat dijalankan. Adapun penyebab perbedaan data dimaksud antara lain kerena adanya salah ketik (clerical error) amar putusan yang sudah inkracht van gewijsde yang mengakibatkan putusan tidak dapat dijalankan. Terkait kasus jenis ini maka sebelum mengajukan eksekusi lelangnya pihak Kejaksaan dapat menempuh upaya hukum terlebih dahulu berupa pengajuan peninjauan kembali demi memperbaiki amar putusan tersebut, atau mengajukan renvoi putusan kepada hakim yang memutus perkara. Berbeda dengan kasus jika kesalahannya adalah kesalahan amar putusan sebagai akibat dari ketidakcermatan dalam penuntutan/pemberkasan perkara (dakwaan) yang mengakibatkan data yang tercantum di dalam amar putusan dengan objek yang disita/dirampas berbeda. Untuk jenis kesalahan ini maka terjadi kondisi dimana alas hukum menjadi tidak kuat untuk dilakukannya eksekusi lelang. Untuk itu Kejaksaan sebelum mengajukan permohonan lelang terlebih dahulu “dapat” mengajukan penetapan koreksi amar putusan dari Hakim yang mengadili semula. Dengan demikian intinya pihak Kejaksaan selaku pemohon lelang harus benar-benar melakukan aksi nyata guna mempersiapkan legalitas permohonan lelangnya menjadi sesempurna mungkin (tidak ada cacat).
Hal penting lainnya adalah terkait betapa pentingnya bunyi amar suatu putusan pengadilan (tidak hanya tentang amar “dirampas”), sehingga setiap pihak yang berkepentingan dituntut untuk mempunyai kemampuan analisis, adalah terkait dengan jenis-jenis putusan yang tidak dapat dilaksanakan eksekusi lelangnya (non-executable). Putusan non-executable antara lain diatur di dalam pasal 39 KUHAP yang mengatur bahwa terhadap pemilik barang bukti yang tidak terbukti mengadakan “permufakatan jahat” dengan pelaku tindak pidana, maka seharusnya barang bukti dikembalikan kepada yang berhak/pemiliknya. Lebih lanjut, ahli hukum M. Yahya Harahap berpendapat bahwa terdapat berbagai kondisi yang mengakibatkan suatu putusan pengadilan bersifat non-executable sehingga terhadap benda objek pidana tidak dapat dilaksanakan eksekusi penjualan lelangnya, antara lain adalah: 1.Harta kekayaan tereksekusi tidak ada; 2.Putusan bersifat deklaratoir; 3.Barang objek eksekusi di tangan pihak ketiga; 4.Eksekusi terhadap penyewa; 5.Barang yang hendak dieksekusi dijaminkan kepada pihak ketiga; 6.Tanah yang hendak dieksekusi tidak jelas batasnya; 7.Perubahan status tanah menjadi milik negara; 8.Barang objek eksekusi berada di luar negeri; 9.Dua putusan yang saling berbeda; 10.Eksekusi terhadap harta kekayaan bersama. Kondisi-kondisi tersebut kiranya menjadi pertimbangan apakah suatu permohonan lelang eksekusi mempunyai alas hukum yang kuat untuk dilaksanakan ataukah tidak.
Walaupun jenis-jenis lelang yang diatur di dalam PMK No. 13/PMK.06/2018 dapat dinyatakan sebagai jenis lelang yang unsecure, namun di dalam PMK No. 13/PMK.06/2018 tersebut juga mengatur tentang kewajiban pihak pemohon lelang dalam hal ini Kejaksaan untuk membuat Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak (SPTJM) dalam setiap permohonan lelangnya. SPTJM intinya berisi pernyataan bahwa pihak Kejaksaan menyatakan akan bertanggung jawab terhadap segala permasalahan hukum, tuntutan pidana, gugatan perdata, dan/atau gugatan tata usaha negara yang timbul akibat pelaksanaan lelang. SPTJM dimaksud hampir dapat disamakan sebagai guarantee yang diberikan oleh Kejaksaan kepada pelaksana lelang (Pejabat Lelang Kelas I/Pelelang). Berkenaan lelang yang guaranteed tersebut dan hak kejaksaan yang hanya sebatas mengajukan permohonan lelang saja sementara kewenangan untuk memutuskan dilaksanakan atau tidaknya suatu permohonan lelang sepenuhnya berada ditangan Pejabat Lelang, maka jika memasuki ranah hukum yang sebenarnya (misalnya ranah pidana) timbul pertanyaan apakah surat tanggung jawab mutlak (seperti SPTJM dimaksud) dapat menghilangkan tuntutan pidana bagi pelaksana lelang (Pejabat Lelang)?. Terkait pertanyaan tersebut maka perlu menjadi renungan tentang aturan mendasar dari hukum pidana yang menyatakan bahwa seseorang dapat dimintai pertanggungjawaban pidananya “kecuali” hanya jika terdapat alasan-alasan penghapus pidana yang antara lain diatur di dalam pasal 48 dan 49 KUHP yang mengatur bahwa pembebasan subjek hukum dari pidana hanya diberikan dengan alasan keterpaksaan atau keadaan darurat belaka.
Hal mendasar lainnya yang dapat dikaji dalam permasalahan ini adalah terkait dengan terpenuhi tidaknya kesesuaian (konsideransi) antara PMK No. 13/PMK.06/2018 dengan peraturan perundangan yang tingkatannya lebih tinggi dalam tatanan peraturan perundang-undangan di Indonesia sebagaimana dimaksud dan diatur di dalam Undang-undang No. 12 Tahun 2011. Dalam hal ini maka berlaku berbagai asas hukum yang harus ditaati antara lain adalah asas lex superiori derogate legi inferiori, yaitu asas hukum yang menyatakan bahwa aturan hukum yang tingkatannya lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan aturan hukum yang tingkatannya lebih tinggi. Hal ini berarti apabila terdapat pertentangan pengaturan terhadap suatu objek hal yang sama, maka aturan yang lebih tinggilah yang akan mengalahkan aturan yang lebih rendah. Adapun tingkatan hukum di Indonesia sebagaimana diatur di dalam Undang-undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dari tingkatan yang tertinggi adalah:UUD RI 1945 (dan amandemennya), Ketetapan MPR RI, Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Perda Provinsi, Perda Kabupaten/Kota, dan seterusnya. Pertanyaannya adalah apakah PMK No. 13/PMK.06/2018 telah memenuhi asas hukum tersebut? (Risman, S.H., M.Ak./KPKNL Jakarta III/03 September 2018)