Selasa, 13 Oktober 2015



Prosedur Audit Investigatif Terhadap Indikasi
Korupsi dalam Bidang Kehutanan


A Resume, Source: Dwi Hartoyo. (2011). Panduan Audit Investigatif Korupsi di Bidang Kehutanan. Bogor-Indonesia: Center for International Forestry Research.


Oleh: Risman 

Jakarta, 13 Oktober 2015


Hutan dapat mengalami kerusakan. Kerusakan hutan dapat terjadi karena adanya deforestasi yaitu perubahan tutupan hutan karena berkurangnya mahkota pepohonan sampai tingkatan tertentu atau adanya degradasi yaitu perubahan tingkatan hutan yang secara negatif mempengaruhi keadaan atau kondisi hutan khususnya menurunkan kapasitas produksi hutan. Deforestri dapat terjadi karena peristiwa alam, seperti kebakaran hutan, atau karena kegiatan yang dikendalikan pemerintah, seperti pengalihan status dan fungsi hutan serta pengusahaan hutan, atau karena adanya kejahatan di bidang kehutanan, seperti pembalakan liar.

Berdasarkan data yang diperoleh dari Departemen Kehutanan tingkat kerusakan hutan di Indonesia pada periode tahun 1985-1997 adalah 1,87 juta hektar per tahun dan pada periode tahun 1997-2000 adalah 2,83 juta hektar per tahun. Sementara itu, data lain yang disajikan oleh Departemen Kehutanan menunjukkan bahwa rata-rata kerusakan hutan di tujuh pulau besar di Indonesia pada periode tahun 2000-2005 adalah 1.089.560 hektar per tahun. Korupsi diperkirakan terjadi di hampir semua tahapan kegiatan di bidang kehutanan mulai dari pemberian izin usaha, pengawasan penebangan, pengangkutan, pengolahan, perdagangan antar pulau sampai dengan ekspor kayu dan hasil hutan lainnya.


Penyelidikan dan penyidikan korupsi dan pencucian uang dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan follow the money atau mengikuti aliran atau pergerakan uang dengan menggunakan berbagai teknik investigasi keuangan. Pendekatan ini berbeda dengan pendekatan follow the wood atau mengikuti aliran atau pergerakan kayu (mengikuti pihak yang dicurigai) yang pada saat ini lebih sering digunakan dalam penyelidikan dan penyidikan kejahatan kehutanan.

Sedikitnya terdapat tiga bentuk korupsi (modus) yang secara langsung berkaitan dengan kerusakan hutan dan kerusakan lingkungan di Indonesia yaitu:

1.      Korupsi yang berkaitan dengan pemberian hak dan izin di bidang kehutanan;

2.      Korupsi yang berkaitan dengan pengawasan kegiatan usaha kehutanan;

3.      Korupsi yang berkaitan dengan pemberian hak dan izin serta pengawasan kegiatan usaha berskala besar di bidang kehutanan.

Audit atau pemeriksaan investigatif adalah suatu bentuk audit atau pemeriksaan yang bertujuan untuk mengidentifikasi dan mengungkap kecurangan atau kejahatan dengan menggunakan pendekatan, prosedur dan teknik-teknik yang umumnya digunakan dalam suatu penyelidikan atau penyidikan terhadap suatu kejahatan.

Mekanisme audit investigatif untuk menemukan kemungkinan adanya korupsi di bidang kehutanan dilaksanakan dengan menggunakan langkah-langkah sebagai berikut:

1.      Mengumpulkan data dan informasi serta menganalisis adanya indikasi korupsi;

2.      Mengembangkan hipotesis kejahatan dan merencanakan audit;
3.      Melaksanakan audit untuk mengumpulkan buktibukti yang mendukung hipotesis;
4.      Menyusun laporan hasil audit.


Mekanisme audit investigatif tersebut akan dijelaskan dibawah ini.

       I.            Mengumpulkan data dan informasi serta menganalisis adanya indikasi korupsi

Informasi-informasi yang dapat dikumpulkan dan dianalisis oleh auditor untuk menemukan adanya penyimpangan atau pelanggaran yang merugikan keuangan negara, pemerasan, penyuapan atau bentukbentuk korupsi yang lainnya antara lain adalah: 1)Citra satelit atau foto udara; 2)Data geo-spasial; 3)Data pemberian hak dan izin yang berkaitan
dengan hutan; 4)Data produksi hasil hutan; 5)Data penerimaan dana reboisasi dan provisi sumber daya hutan serta data penerimaan negara dan penerimaan daerah lainnya; 6)Data kekayaan penyelenggara negara; 7)Informasi dari media massa; 8)Informasi dari lembaga swadaya masyarakat atau informasi langsung dari masyarakat; 9)Laporan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan dan aparat pengawasan internal pemerintah; 10)Data perusahaan dan pengusaha dalam bidang kehutanan atau bidang lain berkaitan dengan bidang kehutanan; 11)Direktori bisnis dalam bidang kehutanan atau bidang lain yang berkaitan dengan bidang kehutanan.

Sedangkan pendekatan yang dapat digunakan oleh auditor dalam menganalisis berbagai data dan informasi tersebut yang bertujuan untuk mengidentifikasi adanya indikasi kecurangan atau kejahatan di bidang kehutanan adalah: 1)Melakukan analisis terhadap perkembangan deforestasi di suatu area dengan membandingkan citra satelit atau foto udara pada suatu periode tertentu; 2)Jika terjadi deforestasi pada suatu area yang luas, dapatkan informasi yang berkaitan dengan area tersebut misalnya ketentuan mengenai tata ruang serta pemberian hak dan izin pada area yang bersangkutan; 3)Jika terhadap area yang terdeforestasi telah diberikan hak atau izin yang berkaitan dengan bidang kehutanan tertentu maka dapatkan: informasi mengenai ketentuan yang mengatur mengenai pemberian hak dan izin serta penyelenggara negara atau pejabat negara yang terlibat di dalam pemberian hak atau izin, dokumen-dokumen yang diajukan oleh pemohon hak atau izin dalam rangka memperoleh hak atau izin tersebut, dokumen-dokumen yang telah dikeluarkan oleh lembaga negara atau lembaga pemerintah yang terlibat dalam pemberian hak atau izin tersebut; 4)Lakukan observasi lapangan untuk mengetahui secara mendalam gambaran deforestasi dan kondisi hutan yang sesungguhnya pada saat sekarang, 5)Dapatkan data dan informasi tambahan mengenai pejabat negara yang terlibat di dalam pemberian hak atau izin, terutama mengenai laporan harta kekayaan yang bersangkutan, 6)Melakukan analisis untuk memperkirakan siapa yang paling mungkin melakukan atau terlibat dalam kegiatan yang mengakibatkan deforestasi serta mengapa dan bagaimana mereka melakukan hal tersebut.

Dari analisis yang dilakukan, auditor harus menyusun suatu kesimpulan mengenai indikasi kecurangan atau kejahatan yang telah terjadi. Kesimpulan dapat disusun sedemikian rupa sehingga secara keseluruhan bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut: 1)Siapa (Who) orang, kelompok orang atau korporasi yang melakukan kecurangan atau kejahatan?; 2)Siapa (Who) saja pihak yang dapat membantu memberikan keterangan tentang orang-orang yang dicurigai terlibat tersebut, 3)Kecurangan atau kejahatan Apa (What) yang dilakukan?, 4)Kapan (When) pelaku melakukan kecurangan atau kejahatan?, 5)Di mana (Where) pelaku melakukan kecurangan atau kejahatan?, 6)Mengapa (Why) pelaku melakukan kecurangan atau kejahatan?, 7)Bagaimana (How) pelaku melakukan kecurangan atau kejahatan?.

Dalam tahapan analisis mungkin tidak semua pertanyaan di atas dapat dijawab. Akan tetapi suatu audit investigatif dapat dimulai jika terdapat suatu predikasi atau dasar
yang kuat untuk melaksanakan suatu audit investigasi. Adanya predikasi cukup ditunjukkan melalui “jawaban sementara” atas tiga pertanyaan dari enam pertanyaan di atas, yaitu: 1)Kecurangan atau kejahatan Apa (What) yang dilakukan?; 2) Kapan (When) pelaku melakukan kecurangan atau kejahatan?; 3) Di mana (Where) pelaku melakukan kecurangan atau kejahatan?.



    II.            Mengembangkan hipotesis kejahatan dan merencanakan audit

Setelah menemukan adanya predikasi, seorang auditor harus mengembangkan hipotesis atau “dugaan sementara” mengenai kecurangan atau kejahatan yang
terjadi. Hipotesis dikembangkan dari informasi yang sudah dikumpulkan dan analisis yang sudah dilakukan atas informasi tersebut. Penyusunan hipotesis bertujuan agar audit bisa dilaksanakan mengarah kepada pembuktian hipotesis. Namun demikian, seiring dengan perkembangan bukti yang dikumpulkan selama proses audit sedang berjalan, maka hipotesis bisa saja berubah.

Selanjutnya, sebelum melakukan pemeriksaan (audit), berdasarkan hipotesis yang telah disusun auditor harus menyusun perencanaan audit terlebih dahulu yang antara lain mencakup: 1)Penyusunan Program Kerja Audit; 2)Penyusunan Tim Audit; 3)Penyusunan Rencana Biaya Audit.


 III.            Melaksanakan audit untuk mengumpulkan bukti-bukti yang mendukung hipotesis

Tahap berikutnya adalah melaksanakan pemeriksaan (audit) untuk membuktikan hipotesis yang telah ditetapkan. Auditor dapat melakukan teknik-teknik audit sebagai berikut: 1)Meminta dan menganalisis dokumen, baik dokumen yang berbentuk fisik maupun non-fisik; 2)Wawancara, baik wawancara biasa maupun wawancara mendalam; 3)Melaksanakan pemeriksaan fisik dan observasi lapangan; 4)Mengakses data dan informasi dari perangkat, sistem atau basis data tertentu; 5)Melakukan konfirmasi; 6)Melaksanakan tinjauan analitikal; 7)Melaksanakan pengintaian; 8)Melakukan pengambilan gambar atau suara.


 IV.            Menyusun laporan hasil audit

Tahap terakhir adalah penyusunan laporan hasil audit. Segera setelah selesai melaksanakan audit maka Ketua Tim Audit menyusun laporan audit investigatif. Laporan
audit yang disusun harus memperhatikan ketentuan penyusunan laporan audit investigatif yaitu: 1)Akurat dalam arti bahwa seluruh materi laporan misalnya menyangkut kecurangan atau kejahatan yang terjadi serta informasi penting lainnya, termasuk penyebutan nama, tempat atau tanggal adalah benar sesuai dengan bukti-bukti yang sudah
dikumpulkan; 2)Jelas dalam arti bahwa laporan harus disampaikan secara sistematik dan setiap informasi yang disampaikan mempunyai hubungan yang logis. Sementara itu, istilah-istilah yang bersifat teknis harus dihindari dan kalau tidak bisa dihindari harus
dijelaskan secara memadai; 3)Tidak memihak dalam arti bahwa laporan tidak mengandung bias atau prasangka dari auditor yang menyusun laporan atau pihak-pihak lain yang dapat mempengaruhi auditor. Laporan hanya memuat fakta-fakta dan tidak memuat opini atau pendapat pribadi auditor; 4)Relevan dalam arti bahwa laporan hanya
mengungkap informasi yang berkaitan langsung dengan kecurangan atau kejahatan yang terjadi; 5)Tepat waktu dalam arti bahwa laporan harus disusun segera setelah pekerjaan lapangan selesai dilaksanakan dan segera disampaikan kepada pihakpihak yang berkepentingan.
Selain melakukan mekanisme audit investigatif  sebagaiman dijelaskan secara gamblang tersebut di atas, maka dapat dilakukan penelusuran aliran dana hasil kejahatan yaitu suatu kegiatan yang dapat dilaksanakan oleh auditor sebagai bagian dari audit investigatifnya atau dilakukan bersamaan dengan pelaksanaan audit investigatif yang bertujuan untuk mengetahui secara lebih mendalam kecurangan atau kejahatan yang terjadi. Secara umum, kewenangan yang dimiliki Auditor untuk menelusuri aliran hasil kejahatan relatif terbatas. Auditor memiliki sejumlah keterbatasan untuk mengakses data dan informasi yang berkaitan dengan transaksi keuangan yang dimiliki perseorangan atau korporasi yang diduga melakukan kecurangan atau kejahatan. Menurut hukum positif yang berlaku di Indonesia, penelusuran aliran dana yang tersimpan di perbankan hanya dapat dilakukan oleh pejabat pajak, polisi, jaksa atau hakim. Berdasarkan ps 41 dan 42 UU No.10/1998 tentang Perbankan, kecuali untuk tindak pidana pencucian uang maka penyidik, penuntut umum, dan hakim dapat meminta keterangan tentang harta kekayaan seseorang kepada PJK (Penyedia Jasa Keuangan = Bank) tanpa memerlukan izin dari Gubernur Bank Indonesia. Sedangkan untuk auditor yang berasal dari BPK/BPKP dapat meminta penelusuran harta kekayaan seseorang kepada PJK melalui PPATK dalam bentuk permintaan informasi sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Kepala PPATK nomor: PER-09/1.02.1/11/2009, tanggal 10 Nopember 2009 tentang Tata Cara Pertukaran Informasi.

Teknik yang digunakan dalam penelusuran dana hasil kejahatan pada dasarnya sama dengan teknik yang digunakan dalam audit investigatif. Dalam kenyataannya,
Auditor akan mengkombinasikan beberapa teknik yang digunakan dalam audit investigatif untuk menelusuri aliran dana hasil kejahatan. Auditor, misalnya akan
mengumpulkan data dan informasi yang berkaitan dengan transaksi keuangan dan menganalis data dan informasi tersebut serta melakukan wawancara dengan
pihak-pihak yang diduga mengetahui data dan informasi yang telah dianalisis.


Reference: Dwi Hartoyo. (2011). Panduan Audit Investigatif Korupsi di Bidang Kehutanan. Bogor-Indonesia: Center for International Forestry Research.


 Mari Belajar dari Studi Kasus Audit Kinerja pada Badan Riset dan Pengembangan

(National Institute of Biologicals / NIB) India

A Resume, Source: Performance Audit: A Case of Indian R&D Unit, Dr. Parulian Silaen and Dr. Shyam Bhati, University of Wollongong, Australia



Oleh: Risman, Universitas Indonesia



Jurnal sebagaimana judul referensi diatas berisi hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Dr. Parulian Silaen dan Dr. Shyam Bhati, University of Wollongong, Australia tahun 2009, bertujuan untuk mengetahui alat audit apa yang digunakan dalam audit kinerja pada organisasi sector public berupa kantor riset dan pengembangan biologi India (National Institute of Biologicals / NIB) yang kedudukannya dibawah Kementerian Kesehatan dan Kesejahteraan Keluarga (Ministry of Health and Family Welfare Secretary) India.

NIB dipimpin oleh seorang direktur yang membawahi lima deputi yaitu: 1)Quality control and development; 2)Training and technical support; 3)Animal production and quarantine; 4)Environment and personnel safety; dan 5)Administration and finance. Anggaran yang dikelola oleh NIB sebesar Rs. 2,560 million.

Sudah banyak dibuktikan bahwa audit kinerja berperan penting dalam manajemen sektor publik. Menurut Smith et al. (1972) audit kinerja memiliki beberapa istilah seperti audit operasional, audit fungsional, audit manajemen, dan manajemen audit. Leeuw (1996) mengatakan bahwa audit kinerja mempunyai fungsi untuk mengaudit terhadap aspek efisiensi dan efektivitas organisasi, dimana melalui audit keuangan hal tersebut tidak dapat dilakukan sepenuhnya. Menurut Smith et al. (1972) audit kinerja berbeda dengan audit keuangan karena audit kinerja terkait secara langsung dengan masalah kebijakan dan prosedur internal manajemen organisasi.

            Audit membutuhkan suatu kriteria atau ukuran tertentu yang dalam sistem manajemen pengendalian dikenal dengan alat pengendalian (control tool). Selanjutnya alat pengendalian dimaksud dalam beberapa literatur dikenal dengan istilah Key Performance Indicator (KPI). Namun, disisi lain institusi objek penelitian yaitu kantor NIB India mempunyai karakteristik yang unik/berbeda dibandingkan dengan organisasi publik lainnya yaitu tugas dan fungsinya melakukan riset/penelitian dan pengembangan biological, dimana hasil pekerjaannya tidak dapat diprediksi, dan sangat sulit diukur dengan nilai uang, sehingga memerlukan sistem manajemen pengendalian (control management) yang juga bersifat khusus.

            Untuk itu peneliti mencoba membuat satu set alat pengendalian (control tools) untuk mengukur output dan kinerja pekerjaan riset yang telah dilakukan. Dengan menggunakan alat tersebut maka fungsi audit/pengendalian akan dapat dilakukan dengan cara pengawasan dan evaluasi terhadap besar kecilnya usaha yang dilakukan diperbandingkan  dengan hasil riset yang di dapat. Menurut para peneliti, alat pengendalian yang cocok dengan karakterisitik organisasi NIB terdiri dari 2 (dua) komponen yaitu:

1)      Dimensi (dimension) yang berisi 4 (empat) komponen yaitu:

a.       Peraturan (directional), yaitu terkait dengan pengukuran tingkat kepatuhan organisasi terhadap aturan umum yang berlaku seperti terhadap perencanaan strategis, petunjuk (guidance) pengambilan kebijakan, dan sebagainya. Dalam hal ini ukuran yang digunakan bersifat kualitatif.

b.      Birokrasi (bureaucratic), yaitu ukuran yang terkait dengan Standard of Procedure (SOP), Quality Control, dan Scheduling seperti PERT, CPM, dan production scheduling, dan sebagainya. Dalam hal ini ukuran yang digunakan walaupun dapat bersifat kuantitatif namun cenderung bersifat kualitatif.

c.       Keilmuan (Scientific), yaitu ukuran yang terkait dengan ide dan inovasi, contoh ukuran yang digunakan adalah new or improved processes, products or techniques, patents and patent applications, scientific publications, membership of professional organisations, dan lainnya. Di dalam kriteria tersebut ukuran yang digunakan dapat bersifat kualitatif maupun kuantitatif.

d.      Keuangan (Financial), yaitu ukuran terkait segala hal yang berhubungan dengan nilai uang (bersifat monetary), biasanya menggunakan prinsip-prinsip akuntansi. Contoh ukuran yang digunakan adalah budgeting, cost effectiveness, standard costs and return on investment, dan lainnya.

2)      Nilai Representasi (values of representation) yang terdiri 3 (tiga) komponen yaitu:

a.       Eksternal (external), yaitu ukuran berupa nilai yang di dapat dari pihak ketiga diluar organisasi dan biasanya lebih bersifat objektif dan independen. Contoh ukuran nilai dari pihak ketiga yang sering digunakan adalah market mechanism untuk menentukan harga yang wajar atau bid price pada proses tender, dan sebagainya.

b.      Internal, yaitu ukuran berupa nilai yang dibuat oleh internal organisasi, biasanya dalam bentuk standard operating procedures and policies, standard costs, dan sebagainya.

c.       Nilai sosial (social values), yaitu ukuran nilai yang terbentuk dari proses interaksi sosial antar pegawai di internal organisasi. Ukuran nilai sosial secara nyata biasanya dalam bentuk budaya organisasi.

Berdasarkan hasil penelitian ternyata kedua jenis alat ukur tersebut diatas yaitu dimensi dan nilai representasi (dimensios  and representation values) beserta komponen-komponen di dalamnya seperti Peraturan (directional), Keuangan (financial), Eksternal, Internal, dan sebagainya pada prinsipnya telah dipraktikan oleh auditor C&AG (Comptroller and Auditor General) India saat mereka mengaudit laporan pertanggung jawaban dan akuntabilitas Kantor NIB periode laporan 31 Maret 2008, dimana laporan hasil audit tersebut kemudian telah dipublikasikan oleh C&AG India pada tahun 1992.  

Kesimpulan yang dapat diambil dari hasil penelitian adalah bahwa dalam melakukan audit kinerja khususnya terhadap unit organisasi yang mempunyai tugas dan fungsi (business process) yang khusus/unik berupa melakukan riset dan pengembangan (research and development), maka dapat menggunakan alat ukur (control tools) sebagai kriteria auditnya. Alat ukur dimaksud terdiri dari dua elemen yaitu: 1)Dimensions yang terdiri dari empat komponen yaitu directional, bureaucratic, scientific dan financial dimension, dan 2)Values of representation yang terdiri dari tiga komponen yaitu internal, external dan social values.

*****

Jumat, 10 April 2015


Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan atau Bangunan

(BPHTB)
Oleh: Risman

UU Nomor 21 tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan atau Banguan (BPHTB) merupakan undang-undang yang pertama kalinya mengatur  BPHTB secara jelas hingga kemudian Undang-undang tersebut diperbaharui dengan Undang-undang Nomor 20 tahun 2000 tentang Perubahan Atas UU No. 21 tahun 1997 tentang BPHTB. Namun demikian seiring berjalannya waktu maka telah terbit Undang-undang yang baru yaitu UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) yang di dalamnya mengatur bahwa pengelolaan atas Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan BPHTB menjadi kewenangan Pemerintah Daerah.

Dengan demikian pengelolaan BPHTB yang selama ini dilakukan oleh Pemerintah Pusat cq. DJP maka mulai tanggal 01 Januari 2011 akan beralih kepada pemerintah daerah. Maka dari itu, terhitung mulai 1 Januari 2011 Jenis Pajak provinsi terdiri atas: a. Pajak Kendaraan Bermotor; b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor; c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor; d. Pajak Air Permukaan; dan e. Pajak Rokok. Sedangkan jenis Pajak kabupaten/kota terdiri atas: a. Pajak Hotel; b. Pajak Restoran; c. Pajak Hiburan; d. Pajak Reklame; e. Pajak Penerangan Jalan; f. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan; g. Pajak Parkir; h. Pajak Air Tanah; i. Pajak Sarang Burung Walet; j. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan; dan k. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

Berikut dapat disajikan tabel Perbandingan BPHTB menurut Undang-undang BPHTB dengan Undang-undang PDRD, sebagai berikut:

UU BPHTB
UU PDRD
Subjek
Orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan
(Pasal 4)
Sama
(Pasal 86 Ayat 1)
Objek
Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan
(Pasal 2 Ayat 1)
Sama
(Pasal 85 ayat 1)
Tarif
Sebesar 5%
(Pasal 5)
Paling Tinggi 5%
(Pasal 88 ayat 1)
NPOPTKP
Paling banyak Rp300 Juta untuk Waris dan Hibah Wasiat
(Pasal  7 ayat 1)
Paling rendah Rp300 Juta untuk Waris dan Hibah Wasiat
(Pasal 87 Ayat 5)
Paling banyak Rp60 Juta untuk Selain Waris dan Hibah Wasiat
(Pasal 7 Ayat 1)
Paling rendah Rp60 Juta untuk Selain Waris dan Hibah Wasiat
(Pasal 87 Ayat 4)
BPHTB Terutang
5%  x (NPOP – NPOPTKP)
(Pasal 8)
5% (Maksimal) x (NPOP-NPOPTKP)
(Pasal 89)
Keterangan:
DJP masih melaksanakan BPHTB untuk TA 2010, selanjutnya  mulai tahun 2011 BPHTB menjadi tanggung jawab Kab/Kota.  (Pasal 182 Ayat 2, UU nomor 28/2009)
Sumber:    Materi Presentasi “Pengalihan PBB-P2 dan BPHTB sebagai Pajak Daerah,” Direktorat Jenderal Pajak. Agustus 2011


Ketentuan secara teknis mengenai BPHTB menurut UU PDRD akan diuraikan berikut ini. Yang dimaksud Bea Perolehan Hak atas Tanah dan /atau Bangunan (BPHTB) adalah pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan. Hak atas tanah dimaksud adalah sebagaimana yang diatru di dalam UUPA No. 5 Tahun 1960 yang meliputi: a. hak milik; b. hak guna usaha; c. hak guna bangunan; d. hak pakai; e. hak milik atas satuan rumah susun; dan f. hak pengelolaan.

Sedangkan yang dimaksud Subjek Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan. Wajib Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.

Adapun Objek Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan meliputi:
1.      pemindahan hak karena: jual beli; 2) tukar menukar; 3) hibah; 4) hibah wasiat; 5) waris; 6) pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain; 7) pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan; 8) penunjukan pembeli dalam lelang; 9) pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap; 10) penggabungan usaha; 11) peleburan usaha; 12) pemekaran usaha; atau 13) hadiah.
2.      pemberian hak baru karena: 1) kelanjutan pelepasan hak; atau 2) di luar pelepasan hak.

Pengecualian objek pajak yang tidak dikenakan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah objek pajak yang diperoleh: a. perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik; b. negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan/atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum; c. badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas badan atau perwakilan organisasi tersebut; d. orang pribadi atau Badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama; e. orang pribadi atau Badan karena wakaf; dan f. orang pribadi atau Badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah.

Dasar pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP). NPOP sebagaimana dimaksud dalam hal: a. jual beli adalah harga transaksi; b. tukar menukar adalah nilai pasar; c. hibah adalah nilai pasar; d. hibah wasiat adalah nilai pasar; e. waris adalah nilai pasar; f. pemasukan dalam peseroan atau badan hukum lainnya adalah nilai pasar; g. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah nilai pasar; h. peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap adalah nilai pasar; i. pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah nilai pasar; j. pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak adalah nilai pasar; k. penggabungan usaha adalah nilai pasar; l. peleburan usaha adalah nilai pasar; m. pemekaran usaha adalah nilai pasar; n. hadiah adalah nilai pasar; dan/atau o. penunjukan pembeli dalam lelang adalah harga transaksi yang tercantum dalam risalah lelang.

Jika NPOP (kecuali lelang) tidak diketahui atau lebih rendah daripada NJOP yang digunakan dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan yang dipakai adalah NJOP Pajak Bumi dan Bangunan (NJOP PBB).

Besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP)  ditetapkan paling rendah sebesar Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak. Namun dalam hal perolehan hak karena waris atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, maka NPOPTKP-nya ditetapkan paling rendah sebesar Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan ditetapkan dengan Peraturan Daerah

Tarif Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan ditetapkan paling tinggi sebesar 5% (lima persen) dan ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Besaran pokok BPHTB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif BPHTB (maksimum 5%) dengan dasar pengenaan pajak setelah dikurangi NPOPTKP. Hal yang sangat penting lainnya adalah BPHTB yang terutang hanya dapat dipungut di wilayah daerah tempat Tanah dan/atau Bangunan berada.

Saat terutangnya pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan ditetapkan untuk: a. jual beli adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta; b. tukar-menukar adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta; c. hibah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta; d. hibah wasiat adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta; e. waris adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke kantor bidang pertanahan; f. pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta; g. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta; h. putusan hakim adalah sejak tanggal putusan pangadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap; i. pemberian hak baru atas Tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah sejak tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak; j. pemberian hak baru di luar pelepasan hak adalah sejak tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak; k. penggabungan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta; l. peleburan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta; m. pemekaran usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta; n. hadiah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta; dan o. lelang adalah sejak tanggal penunjukkan pemenang lelang.

Referensi:
  1. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
  2. Peraturan Bersama Menteri Keuangan Menteri Dalam Negeri Nomor 213/PMK.07/2010 dan Nomor 58 Tahun 2010 tentang Tahapan Persiapan Pengalihan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan sebagai Pajak Daerah.
  3. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-61/PJ/2010 tentang Tata Cara Persiapan Pengalihan PBB Perdesaan dan Perkotaan sebagai Pajak Daerah.
  4. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Pokok Agaria.
  5. http://www.pajak.go.id/
  6. http://eddiwahyudi.com/