Jumat, 30 Januari 2015

State Auditing
Pengauditan Keuangan Negara

Oleh: Risman
Sumber: Peraturan BPK Nomor 01 Tahun 2007

(Part 1)



Standard Audit Pemerintahan (SAP) telah diatur sebelumnya melalui SAP 1995. Namun Seiring dengan perkembangan teori pemeriksaan, dan dinamika masyarakat menuntut adanya transparansi dan akuntabilitas, serta kebutuhan akan hasil pemeriksaan yang bernilai tambah. Hal ini telah menuntut BPK untuk menyempurnakan standar audit pemerintahan (SAP 1995) yang sebelumnya berlaku tersebut. SAP 1995 dirasa tidak dapat memenuhi tuntutan dinamika masa kini, terlebih lagi sejak adanya reformasi konstitusi di bidang pemeriksaan. Maka sesuai amanat Pasal 5 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara dan merujuk pada Pasal 9 ayat (1) huruf e Undang-undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, maka BPK ditunut untuk dapat menyusun standar pemeriksaan yang dapat menampung segala permasalahan tersebut. Untuk itu kemudian tahun 2007 BPK telah berhasil menyusun ‘Standar PemeriksaanKeuangan Negara atau disingkat dengan ‘SPKN 2007’.

SPKN dimaksud ditetapkan dengan peraturan BPK Nomor 01 Tahun 2007. Inilah tonggak sejarah dimulainya reformasi terhadap pemeriksaan yang dilakukan BPK setelah 60 tahun pelaksanaan tugas konstitusionalnya yang sebelumnya telah berjalan. SPKN dinyatakan dalam bentuk Pernyataan Standar Pemeriksaan yang selanjutnya disebut PSP. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Bapak Prof. Dr. Anwar Nasution selaku ketua BPK, diharapkan hasil pemeriksaan BPK selanjutnya dapat lebih berkualitas yaitu memberikan nilai tambah yang positif bagi pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Selanjutnya akan berdampak pada peningkatan kesejahteraan hidup masyarakat Indonesia seluruhnya. Dengan demikian Keputusan Badan Pemeriksa Keuangan Nomor 01a/SK/K/1995 tentang Standar Audit Pemerintahan tidak berlaku lagi.

Pada dasarnya, Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan tentang SPKN ini merupakan pelaksanaan dari Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara Jo. Pasal 9 e Jo. Pasal 31 ayat (2) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan yang menyatakan bahwa dalam melaksanakan tugasnya Badan Pemeriksa Keuangan berwenang/berkewajiban menetapkan Standar Pemeriksaan Keuangan Negara setelah berkonsultasi dengan Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah yang wajib digunakan dalam pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab Keuangan Negara.

Di dalam SPKN memuat persyaratan profesional Pemeriksa, mutu pelaksanaan pemeriksaan dan persyaratan laporan pemeriksaan yang profesional bagi para Pemeriksa dan organisasi Pemeriksa dalam melaksanakan pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab Keuangan Negara. SPKN ini mengatur hal-hal pokok yang memberi landasan operasional sebagai pengganti Standar Audit Pemerintahan atau SAP yang selama ini berlaku.

SPKN ini berlaku untuk semua pemeriksaan yang dilaksanakan terhadap entitas, program,  kegiatan serta fungsi yang berkaitan dengan pelaksanaan pengelolaan dan tanggung jawab Keuangan Negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan. SPKN ini berlaku bagi entitas auditor yaitu:
a.    Badan Pemeriksa Keuangan.
b.    Akuntan Publik atau
c.    Pihak lainnya yang melakukan pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab Keuangan Negara, untuk dan atas nama Badan Pemeriksa Keuangan. Yang dimaksud dengan pihak lainnya adalah pengawas dari berbagai instansi atau tenaga ahli yang melakukan tugas pemeriksaan.

Begitupun para pehiak berikut dapat menggunakan SPKN sebagai acuan dalam menyusun standar pengawasan sesuai dengan kedudukan, tugas, dan fungsinya yaitu:
a.    Aparat Pengawas Internal Pemerintah,
b.    Satuan pengawasan intern maupun
c.    Pihak lainnya
Yang dimaksud dengan pihak lainnya adalah unit organisasi pengawasan pada lembaga atau organisasi yang mengelola Keuangan Negara, antara lain Satuan Pengawas Intern pada Bank Indonesia, Satuan Pengawas Intern pada Lembaga Penjamin Simpanan dan satuan pengawas intern pada yayasan atau badan lain yang mengelola atau menerima bantuan dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah.


Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN) adalah patokan untuk melakukan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Sedangkan yang dimaksud Pengelolaan Keuangan Negara adalah keseluruhan kegiatan pejabat pengelola keuangan negara sesuai dengan kedudukan dan kewenangannya, meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan pertanggungjawaban. Pemeriksa adalah orang yang melaksanakan tugas pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara untuk dan atas nama Badan Pemeriksa Keuangan. Pemeriksaan adalah proses identifikasi masalah, analisis, dan evaluasi yang dilakukan secara independen, objektif, dan profesional berdasarkan standar pemeriksaan, untuk menilai kebenaran, kecermatan, kredibilitas, dan keandalan informasi mengenai pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Aparat Pengawas Internal Pemerintah adalah unit organisasi di lingkungan Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Kementerian Negara, Lembaga Negara dan Lembaga Pemerintah Non Departemen yang mempunyai tugas dan fungsi melakukan pengawasan dalam lingkup kewenangannya. Satuan Pengawasan Intern adalah unit organisasi pada Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah yang mempunyai tugas dan fungsi melakukan pengawasan dalam lingkup kewenangannya. (to be continue...)

Rabu, 14 Januari 2015

 General Knowledge of Tax - Indonesia
Perpajakan Indonesia

Disarikan dari berbagai literature
Oleh: Risman

Ilustrasi gambar: Republika

Pajak di Indonesia menempati posisi sangat penting terutama dalam membiayai APBN. Kita telah ketahui bahwa APBN merupakan gambaran umum tentang kegiatan ekonomi Negara Indonesia yang didalamnya tercantum kegiatan rutin pemerintah dan kegiatan pembangunan. Selain itu di dalam APBN tercantum pula sumber-sumber pendanannya.  Dari sekian banyak rencana kerja yang ditetapkan dan direlaisasikan oleh pemerintah Indonesia (realisasi APBN) maka sebagian besar di danai dari pajak.

Menurut Infografis yang diterbitkan oleh Kemenkeu, jumlah pajak yang telah ditetapkan dan menjadi sumber pembiayaan belanja APBN dalam kurun waktu delapan tahun terakhir adalah sebagai berikut:

Anggaran Pendapatan Negara (miliar rupiah), 2007-2014
Sumber Penerimaan
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014 1
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
Penerimaan Dalam Negeri
720,389
779,214
984,786
948,149
1,101,162
1,310,562
1,525,189
1,661,100

Penerimaan Pajak
509,462
591,978
725,843
742,738
850,255
1,032,570
1,192,994
1,310,200


Pajak dalam negeri
494,592
569,971
697,347
715,535
827,246
989,637
1,134,289
1,256,300




Pajak penghasilan
261,698
305,961
357,400
350,958
420,494
519,965
584,890
591,600




Nonmigas
220,457
264,311
300,676
303,935
364,940
459,049
513,509
523,200




Migas
41,241
41,650
56,724
47,023
55,554
60,916
71,381
68,400



Pajak pertambahan nilai barang dan jasa, dan pajak penjualan atas barang mewah
161,044
187,627
249,509
269,537
312,110
352,950
423,708
518,900



Pajak bumi dan bangunan
21,267
24,160
28,916
26,507
27,682
35,647
27,344
25,500



Bea perolehan atas tanah dan bangunan
5,390
4,853
7,754
7,393
-
-
-
-



Cukai
42,035
44,426
49,495
57,289
62,760
75,443
92,004
114,300



Pajak lainnya
3,158
2,944
4,273
3,851
4,200
5,632
6,343
6,000


Pajak perdagangan internasional
14,870
22,007
28,496
27,203
23,009
42,933
58,705
53,900



Bea masuk
14,417
17,941
19,160
19,570
17,902
23,734
27,003
339,001



Pajak ekspor
453
4,066
9,336
7,633
5,107
19,199
31,702
20,000

Penerimaan Bukan Pajak
210,927
187,236
258,943
205,411
250,907
277,992
332,195
350,900


Penerimaan sumber daya alam
146,257
126,203
173,496
132,030
163,119
177,264
197,205
19,800



Penerimaan minyak bumi
103,904
84,317
123,030
89,227
107,541
113,682
120,918
127,200



Penerimaan gas alam
35,989
33,605
39,093
31,303
41,799
45,790
53,951
44,100



Penerimaan pertambangan umum
3,564
5,306
8,723
8,232
10,365
14,454
17,599
21,200



Penerimaan kehutanan
2,550
2,775
2,500
2,874
2,908
2,955
4,154
4,700



Penerimaan perikanan
250
200
150
150
150
150
180
300



Penerimaan pertambangan panas bumi
-
-
244
356
233
403
500


Bagian laba BUMN
19,100
23,404
30,794
24,000
27,590
28,001
33,500
37,000


Penerimaan bukan pajak lainnya
45,570
37,629
49,211
39,894
45,167
53,492
77,991
91 100


Pendapatan Badan Layanan Umum (BLU)
-
5,442
9,487
15,031
19,235
23,499
24 800
Hibah
2,669
2,140
939
1,507
3,740
825
4,484
1,400
Jumlah
723,058
781,354
985,725
949,656
1,104,902
1,311,387
1,529,673
1,662,500
Catatan: 1 Angka RAPBN
Sumber: Kementerian Keuangan




Selain dari pajak tersebut di atas, selama ini pembiayaan belanja APBN juga bersumber  dari PNBP (SDA, PNBP lainnya, Laba BUMN, Laba BLU), Hibah, dan dari hutang dalam negeri maupun luar negeri.

Seiring berjalannya waktu, Indonesia menempatkan penerimaan pajak sebagai sumber utama pembiayaan negaranya. Bahkan di APBN 2015 Indonesia menetapkan penerimaan pajak pada posisi teratas dibanding sumber penerimaan lainnya. Dalam APBN 2015 Indonesia menetapkan penerimaan pajak sebesar Rp.1.201,7 T atau sebesar 67% dari total pendapatan Negara sebesar Rp.1.793,6 T. Dengan demikian pajak diposisikan sebagai super major income in fiscal.



Pajak menurut Prof. dr. Rochmat Soemitro didefinisikan sebagai iuran rakyat kepada kas Negara (peralihan kekayaan dari sector pertikelir ke sector pemerintah) berdasarkan undang-undang (dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal balik (tegen prestatie) yang langsung dapat ditunjuk dan dapat digunakan untuk membiayai pengeluaran umum,. Definisi tersebut kemudian diperbaiki menjadi pajak adalah peralihan kekayan dari pihak rakyat kepada kas Negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan “surplusnya” digunakan untuk “public saving” yang merupakan sumber utama untuk membiaya “public investment”.

Dari definisi tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pajak adalah:
1.    Dipungut oleh Negara berdasarkan kekuatan undang-undang;
2.    Tidak adanya kontra prestasi individu dari Negara;
3.  Penyelenggaraan Negara secara umum merupakan bentuk kontra prestasi pembayaran pajak;
4.   Digunakan untuk menjalankan pemerintahan dan jika ada surplus digunakan untuk “public investment”;
5. Dipungut karena suatu hal tertentu antara lain karena suatu keadaan, kejadian, danperbuatan yang memberikan kedudukan tertentu kepada sesorang;
6.  Dapat digunakan untuk tujuan lain yang tidak bersifat budgetair, antara lain tujuan untuk mengatur.

Pungutan lain selain pajak adalah; Bea materai, Bea masuk dan bea keluar, Cukai, Retribusi, Iuran, dan lain-lain pungutan.

Pada dasarnya pajak berfungsi sebagai penerimaan Negara (fungsi Budgetair), namun pajak juga dapat difungsikan untuk mengatur (fungsi Non-Budgetair).
1.  Fungsi Budgetair;  artinya pajak difungsikan sebagai sumber keuangan/penerimaan Negara. Dalam hal ini pajak digunakan untuk membiayai pengeluaran Negara baik pengeluaran rutin maupun pengeluaran pembangunan.
2.  Fungsi Non-Budgetair; artinya pajak difungsikan sebagai instrument pengaturan demi mencapai tujuan tertentu Negara diluar bidang keuangan, dan juga dapat digunakan sebagai alat kebijakan Negara dalam bidang ekonomi dan sosial.

Pajak menurut golongannya dibagi menjadi dua, yaitu:
1.   Pajak langsung; yaitu pajak yang dipungut secara berkala dan harus dipikul sendiri oleh Wajib Pajak (WP). Contohnya PPh.
2.  Pajak tidak langsung; pajak yang dapat dilimpahkan kepada pihak ketiga/konsumen. Contohnya PPN, Bea Materai, dan Bea Balik Nama.

Sedangkan menurut sifatnya pajak dapat digolongkan menjadi dua, yaitu:
1.    Pajak Subjektif (bersifat perorangan); yaitu pajak yang dikenakan berdasarkan gaya pikul pribadi WP. Contohnya PPh pribadi.
2.    Pajak Objektif (bersifat kebendaan); yaitu pajak yang dikenakan berdasarkan objeknya meliputi keadaan, perbuatan atau peristiwanya.

Menurut lembaga pemungutnya pajak dibedakan menjadi dua, yaitu:
1.    Pajak Negara; yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat. Contohnya PPh, PPN, Bea Materai, Bea Lelang, Bea Cukai.
2. Pajak Daerah; pajak yang dipungut oleh pemerintah Provinsi dan Kabupatean/kota. Contohnya Pajak Kendaraan Bermotor, Pajak Reklame, Bea Penambangan, Retribusi Jembatan Timbang.

Berakhirnya suatu utang pajak dapat disebabkan oleh karena antara lain:
1.    Pelunasan/pembayaran; yaitu degan cara membayar ke kas Negara.
2.    Kompensasi; dilakukan karena adanya pembayaran atau adanya kerugian.
3.    Penghapusan hutang; karena WP meninggal tanpa ahli waris, WP tidak mempunyai harta lagi, dan WP tidak dapat ditemukan.
4.   Daluwarsa; yaitu jangka waktu tagih menurut undang-undang telah terlampui sehingga hapus dengan sendirinya.

Pajak ditunagkan dalam suatu aturan pajak yang sistematis, jelas, dan mempunyai kepastian hukum. Dalam membuat aturan pajak maka harus didasari oleh azas keadilan. Hal ini tidak lain demi mewujudkan tujuan utama pajak itu sendiri yaitu mencapai keadilan masyarakat umum. Syarat untuk tercapainya peraturan pajak yang adil adalah:
1.    Equality dan Equity; orang yang mempunyai kondisi sama harus dikenakan pajak yang sama.
2.    Certainty; adanya kepastian hokum pajak yang dituangkan dalam suatu undang-undang pajak.
3.    Convenience of payment; pajak dipungut pada saat yang tepat.
4.    Economics of collection; biaya pemungutan pajak tidak lebih kecil dari pajaknya.

Asas pemungutan pajak meliputi:
1. Asas domisili; yaitu Negara dimana WP tinggal berhak untuk mengenakan pajak kepadanya.
2.    Asas sumber; yaitu pajak didasarkan pada sumber tempat penghasilan berada.
3.    Asas kebangsaan; yaitu pajak dihubungkan dengan kebangsaan dari WP.

Sedangkan sistem pemungutan pajak dapat berupa:
1.    Official assessment system; jenis dan besarnya pajak ditetapkan oleh Fiskus.
2.    Self assessment system; wewenang menentukan jenis dan besarnya pajak diserahkan oleh Fiskus kepada WP sepenuhnya.
3.    With holding system; memberikan kepada pihak ketiga untuk memungut pajak.

Untuk menghitung pajak maka diperlukan dua unsur utama yaitu:
1.    Adanya dasar perhitungannya,
2.    Adanya tarif pajak.

Berikut diuraikan jenis-jenis tarif pajak:
1.    Tarif tetap
2.    Tarif proporsional
3.    Tarif progressive:
a.    Tarif progressive-proporsional
b.    Tarif progressive-progresive
c.    Tarif progressive-degresive
4.    Tarif degresive:
a.    Tarif degresive-proporsional
b.    Tarif degresive-progressive
c.    Tarif degresive-degresive.

 Dalam hal terjadi perselisihan, maka penyelesaian sengketa pajak dapat melalui:
1.    Kuasi Pengadilan/Peradilan Semu; lebih bersifat administratif. Peradilan dijalankan oleh Direktorat Jenderal Pajak.
2.    Pradilan pajak tidak langsung; diajukan kepada peradilan perdata.