Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) Indonesia From COSO Adoption
Oleh: Risman
Jakarta, Agustus, 2015
Oleh: Risman
Jakarta, Agustus, 2015
Penerapan SPIP di
lingkungan instansi pemerintah akan mendorong terciptanya reformasi birokrasi
dan tata kelola pemerintah yang baik sesuai dengan amanat Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010 - 2014. Hal ini dikarenakan SPIP
mempunyai 4 tujuan yang ingin dicapai yaitu (1) Kegiatan yang efektif dan
efisien, (2) Laporan keuangan yang dapat diandalkan, (3) Pengamanan aset
negara, dan (4) Ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan.
Sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 59 Ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah, BPKP dinyatakan sebagai pembina penyelenggaraan SPIP yang mempunyai kewajiban menyusun pedoman teknis penyelenggaraan SPIP, mensosialisasikan SPIP, melakukan pendidikan dan pelatihan SPIP, melakukan pembimbingan dan konsultansi SPIP, serta melakukan peningkatan kompetensi auditor aparat pengawasan intern pemerintah.
Peraturan Pemerintah
No. 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP)
merupakan adaptasi dari COSO.
Unsur-unsur SPIP adalah Lingkungan Pengendalian, Penilaian Risiko, Kegiatan
Pengendalian, Informasi dan Komunikasi, serta Pemantauan Pengendalian Intern. PP
No. 60 Tahun 2008 merupakan penjabaran lebih lanjut dari Pasal 55 ayat (4) dan
Pasal (58) ayat (1) dan (2) UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
Terkait dengan COSO
sebagai basis pengendaian internal, sistem pengendalian intern merupakan salah
satu fungsi manajemen suatu organisasi yang harus dilakukan untuk memberikan
jaminan bahwa tujuan organisasi dapat tercapai. Saat ini sistem pengendalian
intern yang digunakan adalah berdasarkan definisi dari COSO yang mencakup 5
unsur yaitu lingkungan pengendalian, penilaian risiko, aktivitas pengendalian,
informasi dan komunikasi, serta pemantauan. Kelima unsur tersebut merupakan
syarat-syarat suatu manajemen organisasi yang berlaku. Dalam sistem
pengendalian intern pemerintah pun persyaratan di atas diperlukan, sehingga
tercipta manajemen publik yang mampu memberikan pelayanan kepada
publik/masyarakatnya dengan efektif, efisien dan ekonomis, serta taat pada peraturan,
perundangan dan ketentuan-ketentuan lainnya.
Demi good
governance, pengawasan intern dilakukan untuk memperkuat dan menunjang
efektivitas penyelenggaraan sistem pengendalian intern. Sistem pengendalian
yang semula berorientasi sekadar mematuhi ketentuan yang berlaku (compliance
audit) akan menuju sebagai tindakan audit yang dapat mengukur akuntabilitas
operasional organisasi (performance audit) dari kinerja aparat
birokrasi.
Perubahan orientasi sistem pengendalian intern ini menjadikan presiden beserta seluruh penyelenggara pemerintah di tingkat pusat dan daerah harus mampu melaksanakan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik. Langkah ini dimulai dari tahap perencanaan sampai dengan proses pengendalian pada tahap pelaksanaannya. Situasi ini tentu saja membuat presiden sangat membutuhkan sebuah sistem pengendalian internal. Sebab selaku kepala negara (dan kepala pemerintahan), presiden bertugas sebagai pengelola, dan penanggung gugat (akuntabilitas) pengelolaan keuangan negara. Tentu saja pengendalian intern yang diperlukan tersebut harus merupakan sebuah sistem yang andal, menyeluruh, utuh, serta berlaku efektif dalam mengikat tali koordinasi, dan membangun sistem pengawasan antar-lembaga baik di tingkat pusat maupun daerah.
Perubahan orientasi sistem pengendalian intern ini menjadikan presiden beserta seluruh penyelenggara pemerintah di tingkat pusat dan daerah harus mampu melaksanakan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik. Langkah ini dimulai dari tahap perencanaan sampai dengan proses pengendalian pada tahap pelaksanaannya. Situasi ini tentu saja membuat presiden sangat membutuhkan sebuah sistem pengendalian internal. Sebab selaku kepala negara (dan kepala pemerintahan), presiden bertugas sebagai pengelola, dan penanggung gugat (akuntabilitas) pengelolaan keuangan negara. Tentu saja pengendalian intern yang diperlukan tersebut harus merupakan sebuah sistem yang andal, menyeluruh, utuh, serta berlaku efektif dalam mengikat tali koordinasi, dan membangun sistem pengawasan antar-lembaga baik di tingkat pusat maupun daerah.
Sumber: COSO
SPIP diadopsi dari sebuah konsep yang mencoba mengaitkan terjadinya perubahan bertahap terhadap sistem pengendalian intern. Konsep ini telah disempurnakan berdasarkan pengalaman selama menjalankan dan mempelajari sistem pengendalian intern. SPIP mencoba meninggalkan pemahaman sistem pengendalian intern yang semula hanya berbasis accounting control dan administrative control kemudian dapat dipadukan dengan unsur lingkungan pengendalian (control environment). Meskipun demikian, SPIP masih tetap mengaitkan tanggung jawab audit dengan laporan keuangan. Konsep SPIP diadopsi dari sebuh grup studi: The Committee of Sponsoring Organization of the Treadway Commission (COSO), berdasarkan publikasi laporan Internal Control-Integrated Framework (September 1992).
Menurut COSO, pengendalian manajemen terdiri lima komponen utama yang saling berkaitan. Komponen tersebut bersumber dari cara manajemen (pimpinan) menyelenggarakan tugasnya. Jika kinerja pimpinan organisasi baik, maka seluruh komponen utama tersebut akan menyatu (built in) dan saling menjalin (permeatted) di dalam proses manajemen. Oleh COSO, lima komponen sistem pengendalian intern dirumuskan sebagai: lingkungan pengendalian (control environment); penilaian resiko (risk assessment); aktivitas pengendalian (control activities); informasi dan komunikasi (information and communication); serta pemantauan (monitoring);
Dengan pengertian tersebut, sistem pengendalian intern diartikan sebagai rangkaian kegiatan, prosedur, proses, dan aspek lain yang berkaitan dengan pencapaian tujuan penciptaan pengendalian intern. Dalam perkembangannya, kemudian terjadi pergeseran karakter pengendalian yang tidak hanya mencakup rangkaian kegiatan dan prosedur, namun menjadi suatu proses yang integral yang dipengaruhi oleh setiap orang di dalam organisasi. Keterlibatan seluruh sumber daya manusia tersebut menjadi strategi manajemen organisasi untuk mengantisipasi ketidakpastian yang mungkin terjadi (dialami) ketika sedang mencapai tujuan organisasi.
Akibatnya karakter pengendalian intern bergeser dari hard control menuju soft control. Hal ini akan ditandai dengan peningkatan produktivitas, efisiensi, dan efektivitas kinerja organisasi. Capaian itu tidak hanya dilakukan melalui prosedur dan mekanisme pengendalian tetapi juga dengan meningkatkan kompetensi, kepercayaan, nilai etika, dan penyatuan pandangan terhadap visi, misi, dan strategi organisasi.
COSO menjelaskan bahwa ciri yang paling berpengaruh pada efektivitas pengendalian terletak pada proses. Hal ini membawa konsekuensi bahwa kesadaran terhadap pentingnya pengendalian tidak boleh hanya menjadi tanggung jawab pimpinan lembaga (manajemen puncak). Kesadaran terhadap manfaat pengendalian harus tersebar ke seluruh anggota organisasi, tidak hanya kepada unit dan bagian organisasi terkecil, tetapi juga sampai ke tingkat individu.
Akibatnya seluruh anggota organisasi harus memandang pengendalian sebagai alat untuk mencapai tujuan, dan tanggung jawab penerapannya menjadi kewajiban bersama. Meskipun demikian agar penerapannya efektif, konsep COSO tetap mengakui suatu ”tone at the top”. Karena itu, pimpinan Instansi Pemerintah tetap ditekankan untuk mengambil peranan yang sangat penting dalam pelaksanaan pengendalian intern ini.
Dengan demikian, SPIP memiliki suatu pemahaman bahwa pengendalian dirancang untuk membantu organisasi dalam mencapai tujuan. Rancangan pengendalian yang ditetapkan akan disesuaikan dengan bentuk, luasan, dan kedalaman dari tujuan dan ukuran organisasi, karakter dan lingkungan di mana operasi organisasi akan dilaksanakan. Melalui konsep ini tidak ada pengendalian generik yang langsung dapat ditiru dan diterapkan pada organisasi lain. Sehingga pengendalian harus dirancang sesuai dengan ciri kegiatan serta lingkungan yang melingkupinya.
Situs ini berupaya mempertajam keberadaan SPIP agar pada tahun 2012 dapat diselenggarakan serentak di seluruh organisasi pemerintah di Indonesia. Jika dalam proses implementasi SPIP masih terdapat banyak kekurangan, hendaknya hal tersebut harus segera didiskusikan untuk mencari jalan keluarnya secara bersama-sama. Namun demikian, yang sekali lagi perlu ditekankan adalah: SPIP baru akan berjalan jika pimpinan Instansi Pemerintah dapat mengambil peran strategis di dalamnya (tone of the top).
Intinya, seluruh komponen bangsa harus mengawal pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang SPIP. Karena dari peraturan ini terlihat upaya mandiri aparatur pemerintah untuk menciptakan dirinya sebagai pegawai negara yang profesional, berani menghindar dari perilaku korupsi, kolusi dan nepotisme, dan ingin menciptakan budaya kerja yang beradab (mulia) di lingkungan organisasinya. Namun semua semangat itu hendaknya dibarengi dengan langkah cepat pemerintah untuk menciptakan tingkat kesejahteraan yang memadai bagi para aparaturnya. Sebab tanpa itu, apa pun bentuk kebijakan yang dikeluarkan pemerintah pasti akan selalu menemui jalan buntu. Yakni, lagi-lagi tidak mampu dijalankan dan ditegakkan dengan konsisten, penuh integritas, serta bertanggung jawab.
Inspektorat mempunyai tugas melaksanakan pengawasan
fungsional terhadap unit kerja. Pengawasan terhadap unit kerja dilakukan untuk
menjaga agar pelaksanaan kegiatan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan,
melakukan penilaian apakah suatu entitas telah melaksanakan kegiatan sesuai
dengan tugas dan fungsinya secara hemat, efisien, dan efektif, serta sesuai
dengan rencana, kebijakan yang telah ditetapkan, dan ketentuan yang berlaku.
Inspektorat berupaya melaksanakan tugas dan
fungsinya dengan sebaik-baiknya . Upaya tersebut tidaklah mudah dan perlu
adanya kontribusi dari semua unsur yang ada di lingkungan Inspektorat BPKP pada
setiap level untuk menjalankan fungsinya masing-masing dengan baik. Disamping
itu, setiap aktivitas yang dilakukan tidak terlepas dari adanya risiko yang
dapat ber pengaruh dalam pencapaian tujuan. Risiko yang dihadapi oleh
Inspektorat BPKP jika tidak dikelola dengan baik dapat mengganggu pencapaian
tujuan organisasi. Oleh karena itu, upaya implementasi manajemen risiko di
lingkungan Inspektorat perlu dikembangkan lebih lanjut.
Implementasi manajemen risiko di Inspektorat BPKP
dilaksanakan dengan memperhatikan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor
60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP), yang secara
garis besar menyatakan bahwa setiap instansi pemerintah diwajibkan untuk
menerapkan SPIP. Salah satu unsur SPIP mengharuskan setiap instansi pemerintah
untuk melakukan penilaian risiko (risk
assessment) dengan cara mengidentifikasi dan
menganalisis risiko dalam menjalankan tugas dan fungsinya.
Referensi:
BPKP: http://www.bpkp.go.id/ :Agustus 2015
Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP)
COSO: http://www.coso.org/ :Agustus 2015
Referensi:
BPKP: http://www.bpkp.go.id/ :Agustus 2015
Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP)
COSO: http://www.coso.org/ :Agustus 2015
0 komentar :
Posting Komentar