(Oleh Risman, Pegawai Direktorat
Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan R.I.)
Lelang (auction) adalah
penjualan barang yang terbuka untuk umum dengan penawaran harga secara tertulis
dan/atau lisan yang semakin meningkat atau menurun untuk mencapai harga
tertinggi yang didahului dengan pengumuman lelang. Lelang menurut sejarahnya
berasal dari bahasa latin yaitu auctio yang berarti peningkatan harga
secara bertahap. Para ahli menemukan di dalam literatur Yunani bahwa lelang
telah dikenal sejak 450 tahun sebelum Masehi. Di Indonesia, lelang secara resmi
masuk dalam perundang-undangan sejak 1908, yaitu dengan berlakunya Vendu
Reglement (VR) Ordonantie 28 Februari 1908 Staatsblad 1908:189
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Staatsblad 1941:3.
Hal ini terkait dengan pertimbangan pemerintah Hindia Belanda dalam penjualan
barang-barang milik pejabat Belanda yang pada saat itu dimutasi. Peraturan-peraturan
dasar lelang ini masih berlaku hingga saat ini dan menjadi dasar hukum
penyelenggaraan lelang di Indonesia, lebih lanjut dan terus berkembang dengan
dikeluarkannya peraturan-peraturan lelang pada tingkatan di bawahnya. Saat ini
tengah diupayakan pembentukan undang-undang lelang yang baru sebagai bentuk
upaya pemenuhan kebutuhan akan suatu peraturan yang relevan dengan perkembangan
jaman. Namun sayangnya undang-undang lelang yang baru dimaksud sampai dengan
saat ini belum disahkan.
Sampai dengan saat ini pemerintah
melalui Kementerian Keuangan telah berupaya keras untuk menyempurnakan aturan
terkait lelang. Hal ini dilakukan tidak lain adalah demi mengikuti perkembangan
jaman dan menjawab kebutuhan yang berkembang di masyarakat. Setidaknya hal tersebut
terlihat dari catatan jumlah peraturan terkait lelang yang telah beberapa kali
dikeluarkan oleh Menteri Keuangan yang sampai dengan saat ini jumlahnya tidak
kurang dari 10 (sepuluh) Keputusan/Peraturan Menteri Keuangan antara lain
adalah KMK Nomor 557/KMK.01/1999, KMK Nomor 337/KMK.01/2000, KMK Nomor
507/KMK.01/2000, KMK Nomor 304/KMK.01/2002, KMK Nomor 450/KMK.01/2002, PMK
Nomor 40/PMK.07/2006, PMK Nomor 150/PMK.06/2007, PMK Nomor 61 /PMK.06/2008, dan
terakhir yang masih berlaku saat ini adalah PMK Nomor 93/PMK.06/2010 tentang
Petunjuk Pelaksanaan Lelang.
Selanjutnya, dengan pertimbangan
untuk mewujudkan lelang yang lebih efisien, efektif, transparan, akuntabel,
adil, dan menjamin kepastian hukum, serta untuk mengikuti perkembangan
kebutuhan masyarakat, sementara peraturan yang sudah ada yaitu PMK Nomor
93/PMK.06/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang dianggap tidak sesuai lagi,
maka baru-baru ini tepatnya tanggal 26 Juli 2013 telah ditetapkan Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 106/PMK.06/2013 tentang Perubahan Atas PMK Nomor
93/PMK.06/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang, diundangkan pada tanggal 6
Agustus 2013, yang efektif berlaku 2 (dua) bulan sejak tanggal diundangkan
tepatnya tanggal 6 Oktober 2013. Di dalam peraturan dimaksud muncul hal-hal
baru yang selama ini belum diatur, selebihnya adalah berisi penegasan dan cascading
dari aturan yang sudah ada.
Hal baru yang diatur di dalam PMK
Nomor 106/PMK.06/2013 sekaligus menjadi icon perubahan di dalam sejarah
lelang di Indonesia adalah terkait adanya aturan yang memperbolehkan peserta lelang untuk
melakukan penawaran lelang dengan menggunakan email dan ataupun
menggunakan aplikasi internet atau E-Auction. Dalam memberikan penawaran lelang dengan
menggunakan email atau aplikasi internet maka kehadiran peserta
lelang di tempat lelang tidak diperlukan lagi. Dengan demikian, sejak
diberlakukannya aturan baru tersebut maka penawaran lelang tidak lagi di batasi
oleh jarak, waktu, dan tempat tertentu lelang. Dalam rangka mengajukan penawaran
lelang, peserta lelang tidak harus beranjak meninggalkan tempatnya
beraktivitas. Cukup sembari duduk di depan layar komputer yang terhubung dengan
jaringan internet, maka peminat lelang dapat mengirimkan email penawaran
lelangnya atau dengan cara melakukan registrasi lelang secara online
kemudian login dan memilih objek lelang yang diminati untuk selanjutnya
langsung mengajukan harga penawaran lelang secara fairplay.
Inilah yang dimaksud dengan lelang yang modern, begitu mudah dan cepat.
Dengan demikian sejak diberlakukannya
PMK Nomor 106/PMK.06/2013, penawaran lelang dapat dilakukan dengan beberapa
cara yaitu 1) penawaran lelang secara tertulis tanpa keharusan peserta lelang
untuk hadir di tempat lelang, yaitu penawaran melalui surat elektronik (email),
aplikasi internet, atau surat tromol pos; 2) penawaran lelang secara
lisan dan/atau tertulis dimana peserta lelang wajib hadir di tempat lelang
untuk menyampaikan penawarannya; 3) penawaran lelang dengan menggunakan
kombinasi di antara kedua jenis penawaran tersebut.
Hal baru lainnya dan juga menjadi
perhatian masyarakat luas terkait diberlakukan peraturan baru dimaksud adalah
dimungkinkannya penggunaan “Garansi Bank” sebagai jaminan penawaran lelang.
Menurut penulis, mungkin hal ini merupakan jawaban atas tuntutan masyarakat
yang menginginkan agar setiap peminat lelang dapat mengikuti pelelangan dengan
cara-cara yang tidak menyulitkan. Peminat lelang tidak harus terpaku
menggunakan uang tunai/cash sebagai satu-satunya jenis jaminan penawaran
lelang, akan tetapi mereka juga diberikan pilihan lain yaitu dengan menggunakan
Garansi Bank sebagai jaminan penawaran lelang (untuk obyek lelang dengan nilai
jaminan Rp 50 miliar ke atas). Dengan diperbolehkannya menggunakan Garansi
Bank, maka peminat lelang akan lebih leluasa melakukan transaksi lelang
dibandingkan jika menggunakan uang tunai/cash khususnya untuk lelang
dengan uang jaminan berjumlah sangat besar.
Tentang Nilai Limit, diatur hal baru
bahwa besarnya Nilai Limit wajib ditetapkan dengan didasari oleh hasil
penilaian dari “Penilai Independen”. Namun aturan ini hanya berlaku
untuk jenis lelang Noneksekusi Sukarela dengan objek lelangnya berupa tanah
dan/atau bangunan, dan untuk jenis lelang eksekusi berdasarkan pasal 6
Undang-Undang Hak Tanggungan dengan Nilai Limit paling sedikit Rp 300 juta
dan/atau jika kreditor ikut sebagai peserta lelang.
Perubahan yang bersifat mendasar
lainnya yang diatur di dalam PMK Nomor 106/PMK.06/2013 adalah adanya pasal baru
yang meniadakan pemberian dispensasi tempat pelaksanaan lelang. Hal ini
diberlakukan dengan pertimbangan bahwa DJKN selaku penyedia jasa layanan lelang
telah memiliki tidak kurang dari 70 kantor operasional yang memiliki kemampuan
dan standar pelayanan lelang yang sama dan ketersediaan 89 Pejabat Lelang
Kelas II yang kesemuanya tersebar di
seluruh wilayah Indonesia, sehingga kantor-kantor pelayanan lelang dan Kantor
Pejabat Lelang Kelas II sudah dapat diakses di seluruh wilayah Indonesia.
Dengan demikian, pemberian dispensasi tempat pelaksanaan lelang sebagaimana
yang diatur di dalam peraturan sebelumnya, sudah tidak dimungkinkan lagi.
Sejalan dengan semangat meniadakan dispensasi lelang tersebut di atas,
perubahan pengaturan dilakukan pula pada dispensasi jangka waktu pembayaran
harga lelang. Ketentuan dispensasi waktu pembayaran lelang telah dihapus dalam
peraturan yang baru dan hal ini didukung dengan aturan baru pula yaitu bagi
pembeli diberi kesempatan untuk melunasi pembayaran dengan jangka waktu yang
semula 3 (tiga) hari kerja diubah menjadi 5 (lima) hari kerja setelah
pelaksanaan lelang. Dalam hal objek lelang berupa beberapa bidang tanah dalam 1
(satu) hamparan atau bersisian maka di dalam peraturan terbaru, lelangnya wajib
ditawarkan dalam 1 (satu) paket dan tidak boleh ditawarkan secara parsial.
Terkait upaya penggalian potensi
perpajakan, maka terdapat pasal baru yang mengatur bahwa setiap peserta lelang
wajib menunjukan/mempunyai NPWP. Aturan ini sebagai bentuk sinkronisasi dengan
upaya pemerintah yang sedang giat menggali potensi perpajakan baik melalui
intensifikasi maupun ekstensifikasi terhadap subjek maupun objek pajak, guna
mencapai target pendapatan negara dari sektor perpajakan.
Sejauh ini Kementerian Keuangan
melalui DJKN terkait dengan tugas dan fungsinya sebagai regulator dan sekaligus
sebagai pelaksana pelayanan di bidang lelang telah melakukan beberapa kali
deregulasi lelang. Deregulasi lelang dilakukan secara berkesinambungan sebagai
upaya penyempurnaan peraturan yang sudah ada. Dengan demikian diharapkan lelang
di Indonesia akan berkembang ke arah yang lebih maju layaknya perkembangan
lelang yang terjadi di negara lain seperti Belanda, Amerika Serikat, dan
Australia. Diharapkan lelang di Indonesia tidak terkotak pada jenis pelaksanaan
lelang eksekusi belaka, tetapi di masa yang akan datang lelang di Indonesia
diharapkan akan berkembang pesat melalui jenis lelang sukarela yang diharapkan
frekuensinya akan meningkat pesat dan jenis objek lelangnya akan lebih
bervariatif lagi.
Lelang selain berdampak positif pada
stabilitas ekonomi dan keuangan yang antara lain mencakup dampak pada
peningkatan volume transaksi jual beli (business term), meningkatkan
perputaran uang, dan membantu meningkatkan likuiditas organisasi terutama
lembaga keuangan seperti perbankan, lelang juga berdampak positif kepada
peningkatan pendapatan negara. Terkait lelang berdampak pada peningkatan
pendapatan negara, hal ini dikarenakan dari setiap pelaksanaan lelang (transaction),
sesuai dengan peraturan yang berlaku wajib dipungut antara lain bea lelang, PPh
final, BPHTB, dan Uang Miskin yang kesemuanya disetorkan ke kas negara sebagai
penerimaan perpajakan dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Selanjutnya
penerimaan perpajakan dan PNBP tersebut dijadikan sebagai bagian dari
unsur-unsur dalam penyusunan sumber-sumber pendapatan negara di dalam struktur
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
*)
Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan merupakan sikap
instansi dimana penulis bekerja.
0 komentar :
Posting Komentar